BANDUNG, ER3News.com – Di tengah derasnya arus digital dan bisnis media yang terus bergeser, PT Jawa Pos kini tengah sibuk dengan urusan rumah tangga yang tak sederhana penertiban aset dan nama-nama lama yang masih tertera dalam dokumen perusahaan.
Bukan soal laba rugi atau strategi redaksi. Ini tentang sejarah yang belum sempat dicatat secara legal, tentang aset perusahaan yang hingga kini masih tercatat atas nama mantan direksi, termasuk Dahlan Iskan, figur sentral yang membangkitkan Jawa Pos dari reruntuhan media era Orde Baru menjadi imperium pers modern.
Tapi zaman berganti. Dan zaman baru menuntut bukti, bukan sekadar jasa.
“Apakah Dahlan Iskan keberatan jika namanya dihapus dari dokumen perusahaan? Tidak. Tapi hukum tidak bertanya apakah seseorang berkeberatan. Ia hanya bertanya: mana dokumennya?”
Begitulah perkara ini bermula. Legalitas kini menyalip idealisme. Dan sejarah, yang dulu dibangun dari peluh pagi hari, mulai terjepit di antara pasal notaris dan tafsir administratif.
Dalam catatan korporasi, Jawa Pos Group memang tumbuh pesat. Dari satu koran di Surabaya menjadi jaringan media yang melahirkan puluhan anak perusahaan di berbagai daerah.
Tapi pertumbuhan cepat itu juga menyisakan jejak-jejak administratif yang tak terurus. Banyak aset tak pernah dibaliknamakan, banyak dokumen tertinggal dalam nama para pionirnya.
Kini, hukum datang dengan kaca pembesar. Menyoal siapa yang berhak atas bangunan, tanah, dan struktur kepemilikan.
Dan seperti biasa, sejarah tak punya tempat di ruang pengadilan. Yang dicari hanyalah akta, sertifikat, dan tanda tangan.
Apa yang dulu dianggap urusan belakangan, kini menjadi benang kusut. Apa yang dulu diikat oleh rasa percaya, sekarang harus diurai oleh pasal-pasal hukum. Maka drama ini pun meletus: sengketa administratif yang nyaris berubah jadi drama sejarah.
Mungkin bagi Dahlan Iskan, ini bukan perkara besar. Mungkin dia akan menuliskannya dengan gaya khasnya ringan, menyentil, dan berjarak. Tapi untuk kita yang membaca sejarah dari luar, kisah ini terasa seperti ironi yang tak selesai.
Sebab di balik semua prestasi dan pengaruhnya, media pun bisa lalai mencatat warisannya sendiri. Orang-orang besar memang menciptakan sejarah, tapi tidak selalu sempat menandatangani akta. Mereka terlalu sibuk membangun masa depan, hingga lupa membukukan masa lalu.
Bahwa dalam dunia yang terus berubah, yang abadi bukan nama, melainkan tanggung jawab.
Bahwa idealisme tanpa legalitas adalah rumah tanpa fondasi.
Dan bahwa jika sejarah ingin hidup lebih lama dari para pelakunya, maka ia pun harus disahkan, dicatat, dan dibaliknamakan.“Nama bisa tertinggal. Tapi tanggung jawab, seharusnya tidak.”
(djohar**)





